Minggu, 10 Mei 2009

Beberapa tipe teknik PCR

Polymerase chain reaction (PCR) merupakan metode untuk memperbanyak utas DNA. Metode ini pertama kali dikembangkan oleh Kary B. Mullis pada tahun 1985. Metode ini merupakan metode enzimatis untuk memperbanyak DNA secara eksponensial tertentu dengan cara in vitro. Dengan menggunakan metode PCR, dapat diperoleh fragmen DNA (110 bp, 5 X 10-19 mol) sebesar 200.000 kali setelah dilakukan 20 siklus reaksi selama 220 menit (Mullis dan Faloona 1989).
Teknik dasar PCR meliputi empat komponen utama yaitu:
1. adanya DNA cetakan yaitu fragmen DNA yang akan diperbanyak.
2. Oligonukleotida primer, yaitu sekuen oligonukleotida pendek (15 – 25 basa nukleotida) yang
digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA.
3. Deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri atas dATP, dCTP, dGTP dan dTTP, sebagai bahan pensintesis molekul nukleotida.
4. Enzim DNA polymerase adalah enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA.
Prinsip kerja PCR secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada suhu 95 °C, molekul DNA mengalami denaturasi sehingga strukturnya berubah dari untai ganda menjadi untai tunggal. Pada suhu berkisar biasanya antara 50 °C sampai dengan 60 °C, primer forward yang runutan nukleotidanya berkomplemen dengan salah satu untai tunggal akan menempel pada komposisi komplemennya, demikian juga primer riverse-nya akan menempel pada untai tunggal lainnya. Setelah kedua primer tersebut menempel pada posisinya masing-masing, enzim polymerase mulai mensisntesis molekul DNA baru yang dimulai dari ujung 3’-nya masing – masing primer. Sintesa molekul DNA baru ini terjadi pada suhu 72 °C. Proses ini juga disebut sebagai ekstensi atau pemanjangan. Dengan demikian, satu molekul DNA ganda akan berlipat jumlahnya menjadi dua molekul DNA. Setelah itu, diulang lagi proses denaturasi, penempelan dan sintesis pada suhu tersebut di atas dan seterusya. Proses dari denaturasi – penempelan – ekstensi disebut sebagai satu siklus. Suhu denaturasi dan ekstensi bersifat permanen, masing-masing pada 95 °C dan 72 °C, sedangkan suhu penempelan bergantung pada panjang – pendeknya primer. Proses PCR biasanya berlangsung 25 – 40 siklus.
Pada akhir siklus pertama, satu molekul DNA untai ganda diperbanyak jumlahnya menjadi dua molekul DNA untai ganda. Dua molekul untai ganda hasil amplifikasi pada siklus pertama menjadi DNA target dan diperbanyak menjadi empat molekul DNA, dan selanjutnya empat molekul baru ini diperbanyak lagi jumlahnya menjadi delapan dan seterusnya (Muladno 2002).

Adapun teknik yang dikembangkan dalam PCR yaitu:
Nested PCR:
Nested PCR atau PCR bersarang merupakan PCR yang dilakukan dengan memasukkan primer yang lebih spesifik ke dalam amplikon. Nested PCR menggunakan dua primer PCR. Pasangan primer pertama mengamplifikasi lokus seperti umumnya dilakukan pada eksperimen yang menggunakan teknik PCR. Produk PCR disebut dengan amplikon. Pasangan primer kedua digunakan untuk mengamplifikasi bagian DNA di dalam amplikon dengan tujuan menghasilkan produk yang lebih pendek dan spesifik.
Nested PCR merupakan salah satu metode yang dapat memperkecil terjadinya kontaminasi pada produk PCR. Ada dua macam produk yang dihasilkan dari proses PCR . Produk PCR positif merupakan produk PCR dengan panjang basa sesuai dengan panjang basa target. Sedang produk negative merupakan produk PCR yang tidak hanya mengamplifikasi bagian nukleotida yang dikehendaki, tetapi mungkin juga bagian nukleotida organisme lain yang terdapat dalam sampel tersebut. Dapat dikatakan bahwa produk PCR negative merupakan produk PCR yang terkontaminasi. Oleh karena itulah Nested PCR digunakan karena dapat mengenali dan menekan semaksimal mungkin menghasilkan produk PCR negative yang kadang terjadi dalam tahapan PCR (Viljoen et al.2005).
Adanya perbedaan target DNA yang ingin diteliti serta pola fragmen yang berbeda menjadikan nested PCR ini banyak digunakan. Dengan adanya perbedaan seperti itu maka teknik nested PCR dikembangkan sesuai tujuan dan kegunaannya. Beberapa pengembangan teknik nested PCR adalah:
a. Random amplified polymorphic DNA (RAPD)
RAPD adalah teknik molekuler untuk mendeteksi keragaman DNA didasarkan pada penggandaan DNA (Griffiths et al.1999). RAPD juga merupakan penanda DNA yang memanfaatkan primer acak oligonukleotida pendek (dekamer) untuk mengamplifikasi DNA genom organisme.
Prinsip teknik RAPD didasarkan pada kemampuan primer menempel pada cetakan DNA. Primer yang didesain berupa primer tunggal pendek agar dapat menempel secara acak pada DNA genom organisme. Dengan demikian akan terdapat banyak pola fragmen DNA. Perbedaan ini dapat dilihat dengan adanya pola pita pada gel agarosa setelah diwarnai dengan pewarnaan DNA seperti etidium bromide (Sambrook et al.1989).
Disamping ditentukan oleh ada tidaknya situs penempelan primer, keberhasilan teknik ini ditentukan juga oleh kemurnian dan keutuhan DNA cetakan. DNA cetakan yang tidak murni akan mengganggu penempelan primer pada situsnya dan akan menghambat aktifitas enzim polymerase DNA. Enzim ini berfungsi untuk melakukan polimerisasi DNA. Sedangkan DNA cetakan yang banyak mengalami fragmentasi dapat menghilangkan situs penempelan primer.
Data pita DNA hasil RAPD umumnya dianalisis dengan mengubah menjadi data biner satu dan nol berdasarkan ada atau tidak adanya pita. Primer acak yang digunakan jumlahnya dapat banyak dan tidak terbatas sehingga data biner yang terbentuk berupa matriks biner peubah ganda (Roslim et al.2002).
Keunggulan teknik RAPD terletak pada beberapa kemudahan sebagai berikut:
1. Pengetahuan latar belakang genom organisme tidak diperlukan
2. Hasil RAPD dapat diperoleh secara cepat terutama jika dibandingkan dengan analisis RFLP yang memerlukan banyak tahapan
3. Beberapa jenis primer arbitrary dapat dibeli dan digunakan untuk analisis genom semua organisme (Welsh dan McCleland 1990; Williams et al.1990).
Dilaporkan untuk keperluan analisis kekerabatan antar genotipe tanaman, teknik RAPD mempunyai resolusi yang sebanding dengan teknik RFLP (dos Santos et al.1994).
Jumlah primer yang diperlukan dalam analisis sangat bergantung pada tujuan atau jenis informasi yang diinginkan. Jika tujuannya untuk mengungkapkan hubungan kekerabatan, maka analisisnya tidak dapat bertumpu pada satu atau beberapa karakter saja. Dalam hal tersebut Hallden et al.1994 melaporkan bahwa semakin banyak jumlah primer yang digunakan, semakin rendah nilai koefisien keragaman hasil analisis yang diperoleh. Sepuluh sampai dengan dua puluh primer dianggap sudah mencukupi untuk keperluan analisis kekerabatan karena dengan sepuluh primer pengaruh kesalahan percobaan telah diperkecil hingga mendekati nol.
Kelemahan RAPD sebagai berikut:
1. Pemunculan pita DNA kadang – kadang tidak konsisten. Hal ini lebih sering terjadi jika suhu annealing yang digunakan terlalu tinggi. Dalam analisis kekerabatan hal ini dapat diatasi dengan menggunakan primer yang lebih banyak.
2. Ruas DNA yang berulang sering berlipat ganda (Talbert et al.1994)
3. Homologi urutan nukleotida pada pita-pita DNA dengan mobilitas yang sama pada gel tidak diketahui (Thormann et al.1994)
4. Penanda RAPD bersifat dominan
a. Amplified fragment lengh polymorphism (AFLP)
AFLP merupakan teknik amplifikasi DNA yang segera dapat dilihat perbedaan fragmennya setelah PCR melalui gel agarose atau poliakrilamid. Teknik ini dapat digunakan untuk melihat adanya fragmen DNA yang berbeda karena adanya insersi ataupun delesi basa nukleotida dalam jumlah yang cukup besar. AFLP merupakan teknik yang lebih sensitive dari RAPD untuk menghasilkan polimorfisme antar genotip. AFLP banyak digunakan di antaranya untuk mendeteksi sifat-sifat yang berhubungan erat dengan lokus suatu karakter tertentu, sidik jari DNA, keragaman genetic (Vandenmark 1999), penelusuran pola segregasi (Singh dan Cheah 1996), penelusuran hasil mutasi, menetapkan jarak genetic dan mengidentifikasi keterpautan gen dengan resistensi penyakit (Scott et al.2000). AFLP memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan RAPD antara lain amplifikasi DNA dapat bersifat spesifik dan lebih stabil (Vos et al.1995). Cabrita et al. (2001) menyatakan bahwa AFLP dapat digunakan untuk mengenali hubungan kekerabatan yang sangat dekat antar-genotip, perbedaan antar klon dalam satu kultivar, keragaman yang disebabkan terjadinya mutasi yang sangat sedikit, atau adanya perbedaan genetik yang sangat kecil.
Fragmen yang dihasilkan dari analisis AFLP yang tampak sebagai pita DNA diterjemahkan menjadi data biner berdasarkan ada atau tidaknya pita yang dimiliki secara bersama oleh individu tanaman yang dianalisis. Nilai satu (1) diberikan untuk yang memiliki pita dan nilai nol (0) untuk yang tidak memiliki pita.
a. Restriction fragment length polymorphism (RFLP)
RFLP merupakan teknik PCR yang menggunakan enzim restriksi untuk mendeteksi keragaman DNA. Amplikon dipotong dengan menggunakan enzim restriksi untuk mendapatkan fragmen DNA. Enzim restriksi yang umumnya digunakan yaitu enzim yang biasanya ditemukan pada organisme prokariotik. Organisme yang menghasilkan enzim restriksi endonuklease mampu melindungi genomnya sendiri dari metilasi nuklotida di dalam sekuen endonuklease yang dikenali. Secara umum ada dua macam tipe enzim restriksi yaitu:
1. Enzim yang mengenali sekuen spesifik tetapi memotong dibeberapa tempat
2. Enzim yang memotong hanya pada situs yang dikenali
Tipe enzim yang kedua yaitu enzim yang sangat penting. Umumnya sekuen potongannya diketahui. Biasanya panjangnya enzim restriksi ini 4 sampai 6 nukleotida.
Enzim pada kelompok ini membuat bentuk potongan yang berbeda yaitu:
a. Bentuk potongan yang lancip
b. Bentuk potongan yang tumpul
Sangat penting untuk mengenali enzim pemotong ini karena bersifat sangat spesifik dalam memotong sekuen nukleotida yang dikenalinya.
Parameter yang perlu diperhatikan dalam menggunakan teknik ini yaitu:
1. Kemurnian DNA
Secara umum enzim restriksi sangat efisien dalam memotong situs DNA namun tegantung pada kemurnian DNA. Adanya kontaminasi seperti protein lain, fenol, kloroform, etanol, EDTA, SDS, konsentrasi garam yang tinggi dapat menjadi penghambat reaksi enzim restriksi.
2. Buffer enzim restriksi
Untuk tiap-tiap enzim restriksi dibuat kondisi reaksi yang optimal oleh pabrik pembuat enzim.
3. Faktor lain
Jumlah yang besar kadang-kadang diperlukan untuk memotong DNA sirkular pada plasmid atau DNA virus dibandingkan untuk memotong DNA linier
(Viljoen et al.2005).
a. Single strand conformation polimorphim (SSCP)
Single strand conformation polimorphims merupakan salah satu teknik PCR yang dapat mendeteksi perbedaan nukleotida dari DNA produk PCR dengan perbedaan satu nukleotida. Metode ini memanfaatkan perbedaan laju migrasi utas tunggal DNA setelah didenaturasi dalam formamide dye dan perlakuan panas pada gel poliakrilamid yang diikuti dengan pewarnaan perak (Sambrook et al.1989). Metode SSCP dikenalkan pada tahun 1989 sebagai alat deteksi baru untuk polimorphisme DNA, variasi sekuen, SSCP menawarkan suatu yang murah, gampang dan metode yang sensitive terhadap variasi genetic (Sunnucks et al.2000).
Gerakan pita ganda DNA pada gel elekroforesis pada umumnya tergantung pada ukuran dan panjang basa. Sedangkan gerakan pita tunggal sangat jelas dipengaruhi oleh perubahan yang sangat kecil dalam sekuen. Perubahan yang sangat kecil jelas terjadi karena secara alami pita tunggal tidak stabil. Dengan demikian dapat terjadi lekukan karena ada atau tidak adanya pita pasangannya yang menyebabkan pasangan basa terletak diantara pita dan menghasilkan struktur pita 3D yang unik. Perubahan satu nukleotida berpengaruh terhadap gerakan dalam gel elektroforesis.
Untuk mendapatkan pita tunggal, amplikon dipanaskan pada suhu tinggi dan kemudian didinginkan secara mendadak. Pita tunggal yang diperoleh dirunning pada gel poliakrilamid.
RT-PCR
Reverse transcriptase-PCR (RT-PCR) merupakan metode yang digunakan untuk mengamplifikasi cDNA dari mRNA. RT-PCR digunakan untuk mendapatkan kembali dan menyalin utas 5’ dan 3’ dari mRNA, menghasilkan kumpulan cDNA yang banyak dari jumlah mRNA yang sangat sedikit. RT-PCR dapat dengan mudah digunakan untuk mengidentifikasi mutasi, polimorphisme dan mengukur kekuatan ekspresi gen. Konsep utama yang digaris bawahi pada teknik ini yaitu mengkonversi mRNA ke bentuk rantai tunggal untuk cetakan cDNA. Primer Oligodeoxynukleotida di hibridisasikan ke sehingga cDNA dapat teramplifikasi. Tergantung pada tujuan penelitian, primer untuk sintesi cDNA rantai pertama dapat disusun secara khusus untuk hibridisasi gen target atau dapat mengikat secara umum semua mRNA.
Teknik RT-PCR memerlukan enzim transcriptase balik (reverse transcriptase). Enzim transcriptase balik adalah enzim DNA polymerase yang menggunakan molekul RNA sebagai cetakan untuk mensintesis molekul DNA (cDNA) yang komplementer dengan molekul RNA tersebut. Beberapa enzim transcriptase balik yang dapat digunakan antara lain mesophilic viral reverse transcriptase (RTase) yang dikode oleh virus avian myoblastosis (AMV) maupun oleh virus moloney murine leukemia (M-MuLV), dan Tth DNA polymerase. RTase yang dikode oleh AMV maupun M-MuLV mampu mensintesis cDNA sampai sepanjang 10 kb, sedangkan Tth DNA polymerase mampu mensintesis cDNA sampai sepanjang 1 – 2 kb.
Berbeda dengan Tth DNA polymerase, enzim RTase AMV dan M-MuLV mempunyai aktivitas RNase H yang akan menyebabkan terjadinya degradasi RNA dalam hybrid RNA: cDNA. Aktivitas degradasi semacam ini akan berkurang jika berkompetisi dengan proses sintesis DNA selama proses produksi untai pertama cDNA. Enzim RTase yang berasal dari M-MuLV mempunyai aktivitas RNasse H yang lebih rendah disbanding dengan yang berasal dari AMV.
Enzim M-MuLV mencapai aktivitas maksimum pada suhu 37°C sedangkan enzim AMV pada suhu 42°C dan Tth DNA polymerase mencapai aktivitas maksimum pada suhu 60 - 70°C. Penggunanaan enzim M-MuLV kurang menguntungkan jika RNA yang digunakan sebagai cetakan mempunyai struktur sekunder yang ekstensif. Di lain pihak, penggunaan Tth DNA polymerase kurang menguntungkan jika ditinjau dari kebutuhan enzim ini terhadap ion Mn karena ion Mn dapat mempengaruhi ketepatan (fidelity) sintesis DNA. Meskipun demikian, enzim Tth DNA polymerase mempunyai keunggulan karna dapat digunakan untuk reaksi transkripsi balik sekaligus proses PCR dalam satu langkah reaksi.
Reaksi transkripsi balik dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa macam primer yaitu:
1. Oligo (dT) sepanjang 12 – 18 nukleotida yan akan melekat pada ekor poli (A) pada ujung 3’ mRNA mamalia. Primer semacam ini pada umumnya akan menghasilkan cDNA yang lengkap
2. Heksanukleotida acak yang akan melekat pada cetakan mRNA yang komplementer pada bagian manapun. Primer semacam ini akan menghasilkan cDNA yang tidak lengkap (parsial).
3. Urutan nukleotida spesifik yang dapat digunakan secara selektif untuk menyalin mRNA tertentu (Yuwono T 2006).